Archive for November 2013

Setiap masyarakat mempunyai penghargaan terhadap nilai-nilai dan hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Karena adanya penghargaan terhadap nilai-nilai dan hal tertentu tersebut, maka munculah stratifikasi sosial dalam masyarakat. Stratifikasi sosial lama kelamaan akhirnya dikenal masyarakat. Kemudian stratifikasi sosial itu diterapkan dalam lingkungan masyarakat. Pada dasarnya, stratifikasi sosial itu diterapkan dalam masyarakat untuk menyeimbangkan dalam hal pembagian hak-hak dan kewajiban serta tanggung jawab dalam pembagian nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara para anggota masyarakat tersebut. Maka dari itu stratifikasi sosial dalam masyarakat itu pada dasarnya penting. Tapi seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat sendiri membuat citra stratifikasi sosial itu menjadi buruk. Sebagian orang menyalahgunakan stratifikasi sosial untuk mencapai kekuasaan demi terpenuhinya kepentingannya sendiri. Disisi lain, masyarakat yang tak mengejar kekuasaan malah beranggapan kalau stratifikasi sosial itu yang membuat kesenjangan sosial dalam masyarakat. Mereka tak menyadari kalau sebenarnya yang menjadikan adanya kesenjangan sosial dalam hidup itu adalah mereka sendiri/ masyarakat. Masyarakat yang telah membuat citra stratifikasi sosial itu menjadi buruk dihadapan mereka sendiri. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah secara kontras (Nasikun, 1995 :28). Stratifikasi sosial masih penting agar dalam masyarakat tercapai keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban serta tanggung jawab dalam pembagian nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara para anggota masyarakat tersebut. Menurut teori fungsionalis, stratifikasi sosial itu juga penting karena antara strata atas, menengah, bawah itu saling membutuhkan. Misalnya, buruh membutuhkan pekerjaan dan sebaliknya. Selain itu, stratifikasi sosial juga digunakan untuk menstabilkan sistem sosial dalam masyarakat. Stratifikasi sosial ibarat sebuah tangga. Ada kelas bawah, kelas menengah, dan kelas atas yang merupakan sebuah sistem sosial dalam masyarakat.


Hal tersebut berkaitan dengan karakteristik masyarakat majemuk, diantaranya ialah : 
  1. Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda-beda satu sama lain, 
  2. Memiliki struktur sosial yang terbagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer, 
  3. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar, 
  4. Secara relatif seringkali mengalami konflik diantara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, 
  5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, dan 
  6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompk atas kelompok-kelompok yang lain.

( Nasikun, 1995 : 33), .

 Jika semua orang ingin berada dalam tangga atas, maka tangga tidak akan seimbang dan lama-kelamaan akan retak. Begitupan didalam masyarakat, jika semua orang menduduki kelas atas maka sistem sosial dalam masyarakat lama-kelamaan akan retak/hancur juga. Adanya stratifikasi sosial itu untuk saling mengisi kekosongan/saling melengkapi dalam sebuah sistem sosial yang ada dalam lingkungan masyarakat tersebut. Masyarakatpun juga harus saling menghargai/ menghormati satu sama lain agar tercipta kehidupan yang baik pula.

Diferensiasi sosial adalah pengelompokan masyarakat secara horizontal berdasarkan ciri-ciri tertentu. Perbedaan itu tidak dapat di klasifikasikan secara bertingkat seperti halnya pada tingkatan dalam lapisan ekonomi yaitu lapisan tinggi.lapisan menengah dan lapisan rendah. Pengelompokan horizontal yang didasarkan pada ras,etnis,dan agama disebut kemajemukan sosial sedangkan perbedaan yang didasarkan pada profesi dan jenis klamin di sebut heterogenitas sosial.

Diferensiasi sosial yaitu diferensiasi yang terjadi dalam lingkungan masyarakat. Kota adalah contoh wilayah yang memiliki keragaman diferensiasi dalam berbagai hal seperti agama, aliran agama, pekerjaan, jenis kelamin, usia, etnik, kebudayaan, dan lain sebagainya.Wujud diferensiasi sosial yang terjadi di Sekitar Lingkungan saya yaitu:
1. Perbedaan Agama Islam dan Kristen
2. Jenis Kelamin Laki-laki dan Perempuan
3. Usia Balita, Anak-anak, Remaja, Dewasa,
4. Etnik Jawa, Sunda, Batak dan lain-lain

Dalam diferensiasi sosial tidak jarang menimbulkan suatu dampak negatif seperti konflik sosial dan perpecahan. Pada masyarakat, untuk mengurangi dampak tersebut ditumbuhkan rasa toleransi yang tinggi pada masyarakat dengan cara saling menghormati dan tidak mengganggu jalannya masing-masing perbedaan selama tidak bertentangan keras/merugikan masyarakat secara umum. Dalam masyarakat yang heterogen seperti ini tidak jarang menimbulkan suatu konflik sosial.

Referensi :

Nasikun. 1995. "Struktur Majemuk Indonesia" dalam Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persad, pp. 27-50
Nasikun. 1995. "Struktur Masyarakat Indonesia dalam Masalah Integrasi Nasional" dalam Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, pp. 61-87

Subakti, A. Ramlan dkk. 2011. Sosiologin Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Saptono, Bambang. 2006. Sosiologi. Jakarta: Phibeta

Sutomo dkk. 2009. Sosiologi. Malang: Graha Indotama

Stratifikasi dan Differensiasi Sosial dalam Masyarakat

          Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relative konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negative maupun positif.
  
Mengutip apa yang diungkapkan Dorothy Law Nollte:
  • Jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memaki
  • Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, maka ia belajar berkelahi
  • Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, maka ia belajar rendah diri
  • Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, maka ia belajar menyesali diri
  • Jika anak dibesarkan dengan toleransi, maka ia belajar mengendalikan diri
  • Jika anak dibesarkan dengan motivasi, maka ia belajar percaya diri
  • Jika anak dibesarkan dengan kelembutan, maka ia belajar menghargai
  • Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, maka ia belajar percaya
  • Jika anak dibesarkan dengan dukungan, maka ia belajar menghargai diri sendiri
  • Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia belajar menemukan kasih dalam kehidupannya


Menurut Baumrind (1967), terdapat 4 macam pola asuh orang tua: 
Pertama, Pola asuh Demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat. Pola asuh demokratis akan membuat karakteristik anak anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan koperatif terhadap orang-orang lain.

Kedua, Pola asuh otoriter sebaliknya cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Misalnya, kalau tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara. Orang tua tipe ini juga cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi, dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya. Pola asuh otoriter akan membuat karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.

Ketiga, Pola asuh Permisif atau pemanja biasanya meberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.Pola asuh permisif akan membuat karakteristik anak-anak yang impulsive, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial.

Keempat, Pola asuh tipe yang terakhir adalah tipe Penelantar. Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biayapun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya. Pola asuh penelantar akan membuat karakteristik anak-anak yang moody, impulsive, agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, Self Esteem (harga diri) yang rendah, sering bolos, dan bermasalah dengan teman.

Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku Anak

- Copyright © - TeKaJe DotCom - Powered by Blogger - Designed by Tekaje Dotcom -